Partisipasi

Anda dapat berpartisipasi di blog Dunia Penuh Warna ini. Cukup kirim tulisan anda ke hill_me_marcopollo@yahoo.com atau hilmisetiawan@yahoo.com

Rabu, 31 Oktober 2007

Merajut Benang Kusut Pendidikan

“Seorang guru harus berhati bersih, berbuat dan bersikap yang terpuji” Imam Al-Ghazali

Pemerintah saat ini seakan disuguhi buah Simalakama. Jika dimakan ayah mati, sebaliknya ibu yang mati kalau tidak dimakan. Kebijakan sertifikasi guru yang diterpkan baru-baru ini, membuat guru-guru berlarian kesana-kemari untuk mencari berkas guna melengkapi persyaratan sertifikasi.

Dari satu sisi, kebijakan sertifikasi itu bisa menjadi acuan profesinalitas seorang guru. Namun di sisi lain, sertifikasi bisa menggaanggu jalannya proses pembelajaran serta rawan terjadi praktek manipulasi. Akhirnya, para guru menomorduakan mengajar, sertifikasi menjadi prioritas yang utama.

Kebijakan sertifikasi diambil pemerintah, untuk menjaga profesionalisme guru yang akhir-akhir ini mulai dipertanyakan eksistensinya oleh berbagai pihak. Fenomena lulusan pendidikan yang secara moral cenderung merosot dan kualitas intelektual akademik yang kurang siap memasuki dunia kerja, membuat profesinalisme seorang guru kian terjerembab di kubangan keprihatinan.

Berbicara masalah profesi, terdapat tiga petunjuk mengenainya. Pertama, setiap profesi dikembangkan untuk memberikan palayanan tertentu kepada masyarakat. Kedua, profesi bukanlah sekedar mata pencaharian atau bidang pekerjaan, tetapi harus benar-benar melakukan pengabdian. Ketiga, setiap profesi mempunyai kewajiban untuk menyempurnakan prosedur kerja yang mendasari pengabdiannya secara terus-menerus. Secara teknis, profesi tidak boleh berhenti, tidak boleh mandeg.

Jika guru profesional, muncul secercah harapan akan peningkatan mutu pendidikan. Pasalnya, dunia pendidikan merupakan proses interaksi antara guru (pendidik) dengan peserta didik (murid), untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. (Nata, 2003:135)

Sebenaranya tanpa ada setifikasi pun, guru bisa mendapatkan jiwa peofesionalitasnya. Asalkan terus berpegang pada akhlak dan kode etik yang sudah ada. Kode etik yang merupakan ketentuan atau aturan yang berkenan dengan tata susila. Sementara itu, sebagai perwujudan ekspresi jiwa yang tampak dalam perbuatan, guru semestinya mencerminkan akhlak yang mulia di kelas maupun di luar kelas.

M. Jawad Ridla dalam bukunya al-Fikr al-Tarbawiyyu al-Islamiyyu Muqodimat fi ushulih al-Ijtima’iyyati wal al-aqlaniyyati, menjelaskan berbagai prinsip kode etik pendidik, yaitu:

Pertama, keharusan ilmu dibarengi dengan pengamalannya. Seorang guru (muallim) wajib mengamalkan ilmu yang dimilikinya.

Kedua, berikap kasih sayang terhadap siswa, dan memperlakukan mereka seperti putra-putrinya sendiri.

Ketiga, menghindarkan diri dari ketamakan. Seorang guru seyogyanya menghindarkan diri dari ketamakan dan komersialisasi ilmu.

Keempat, bersikap toleran dan pemaaf serta wajib bersikap lapang dada terhadap murid-muridnya.

Kelima, menghargai kebenaran. Para guru adalah penyampai kebenaran, mereka dituntut menghargai ilmu dan komitmen menjaganya.

Keenam, keadilan dan keinsafan. Karenanya seorang guru harus berempati dan memiliki kesadaran pada saat mengadakan penelitian, melakukan pembicaar dan menyampaikan ilmu.

Ketujuh, rendah hati. Seorang guru hendaknya meninggalkan sikap keras kepala dan berlagak serba tahu.

Ramai membicarakan sertifikasi, kebutuhan peserta didik terlupakan. Peserta didik tidak begitu menuntut banyak. Mereka hanya membutuhkan adanya pemimpin berpengalaman yang bisa membantu ketika mereka menemukan lingkungan yang keras. Kebutuhan selanjutnya adalah mengharapkan bimbingan dalam mengarahkan di jalan menuju kemandirian yang bertanggung jawab.

Kebutuhan adanya pemimpin yang berpengalaman, menuntut kearifan yang didasarkan pada pengalaman dalam segala macam bentuk penjelajahan. Selanjutnya, kebutuhan bimbingan untuk mengarahkan ke jalan kemandirian, menuntut pengetahuan akan kegiatan belajar dan sumber-sumber daya dalam pendidikan.

Hemat saya, seorang guru harus mengembalikan peranannya sebagai teladan, pencipta peluang untuk berprakarsa dan memberikan dorongan. Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.

Memilih profesi sebagai guru, berarti telah mengetahui tanggung jawab yang wajib diemban. Sejalan dengan itu, kualitas diri menjadi taruhannya, berhasil atau tidak ada ditangan masing-masing.

Tidak ada komentar:

Pembaca Kami