Partisipasi

Anda dapat berpartisipasi di blog Dunia Penuh Warna ini. Cukup kirim tulisan anda ke hill_me_marcopollo@yahoo.com atau hilmisetiawan@yahoo.com

Rabu, 31 Oktober 2007

Tradisi Lebaran Ketupat di Pantai Paseban

Asyiknya Makan Ketupat di Pantai

BIBIR pantai masih sekitar dua kilometer lagi. Namun, suasana kemeriahan merayakan
Riyoyo Kupatan sudah menyambut saya. Puluhan pedangang kaki lima yang menjajakan makanan kecil, rokok serta pernak-pernik khas pantai, berjajar di sepanjang jalan.

Terlihat seakan kebal terpanggang terik matahari, saudagar musiman ini berusaha menjajakan jualannya ke setiap pengunjung yang datang. Senyum dan sapaan ramah selalu keluar dari bibir kering mereka.

Sayang anak, sayang anak!” Begitulah Paino (45) menyapa wisatawan yang ingin menghabiskan masa liburan di pantai Paseban. Sambil menghisap sebatang rokok dan memegan keranjang rotan yang dipenuhi berbagai jenis kerupuk, minuman ringan dan beraneka warna topi, bapak dua anak ini tanpa malu-malu mondar-mandir di tengah pengunjung yang lalu-lalang.

Bagi pria asli Lumajang, yang kesehariannya bekerja sebagai kuli bangunan ini, momentum Lebaran ia manfaatkan sebaik mungkin untuk memperbaiki pundi-pundi keuangannya. Rupiah demi rupiah hasil berdagang, ia kumpulkan untuk keperluan anak keduanya yang baru berusia sebulan.

Paino tidak sendirian, banyak paino-paino lain yang tidak mau meninggalkan kesepatan emas untuk meraup rezeki tahun ini. “Kali ini, pengunjung pantai banyak sekali!” ujar Lukman (25) dengan mimik sumringah. Benar, Lebaran tahun ini, orang yang mengunjungi pantai Paseban bertambah. Pasalnya, jalan menuju pantai yang terletak di Kecamatan Kencong ini telah diperbaiki, seluruhnya sudah diaspal.

Lain dengan Paino dan Lukman yang terpaksa berpanas-panasan di bawah terik matahari, Miswati dan keluarganya asik menikmati deburan ombak sambil berteduh di bawah gubuk beratapkan ijuk.

Ibu kelahiran 43 tahun silam ini mengajak seluruh keluarga besarnya ke pantai Paseban. “Tidak setiap waktu keluarga kami bisa ngumpul seperti ini.” jawab Miswati saat ditanya kenapa ia mengajak semua anggota keluarganya.

Merasa sudah puas menikmati indahnya pemandangan pantai, ia dan anak pertamanya menyiapkan makan siang. Piring yang dihisai bermacam motif bunga ia keluarkan dari dalam tas yang terbuat dari anyaman bambu. Sementara itu, putri bungsunya asik memotong ketupat yang telah disiapkan dari rumah. Dengan irisan mirip dadu, segera ketupat itu ditata rapi di atas piring yang telah disiapkan tadi.

“Aku tidak usah pakai sambal”, teriak anak kecil yang tiba-tiba lari menghampiri Miswati. Meskipun ketupat dan opor ayam telah dingin, anak kecil yang ternyata cucu Miswati menyantapnya dengan lahap. Tidak butuh waktu lama keluarga asal Yosowilangun, Lumajang ini menghabiskan seluruh perbekalan.

Semakin sore, pantai Paseban kian dipadati pengunjung yang datang dari berbagai Kecamatan di sekitar Kencong. Seperti dari Jombang dan Yosowilangun. Suasana ramai nan meriah tercermin dari setiap wajah pengunjung yang datang. (ilmi)

Kejar Setoran Buat Lebaran



Sengatan terik panas matahari, mereka akali dengan memasang anyaman bambu di atas kepala.

Sedikit memakai tenaga yang lebih besar, Pak Karto menarik setimba penuh adonan semen dengan pasir. Adonan itu tidak jelas warnanya, antara putih dengan hitam.

Memanfaatkan sebilah kayu yang dipasang menyilang, pria 44 tahun itu menarik pelan serta hati-hati timba tersebut dengan tangan berlu-muran semen yang sudah mulai mengering.

Di bawah, Pak Miskun asik menyiapkan campuran pasir dengan semen untuk sahabatnya di atas. Sambil menunggu Pak Karto melempar timba yang telah kosong, sesekali Pak Miskun berteduh di bawah atap yang ia buat sendiri dari kayu.

Memang waktu itu udara panas sekali. Tidak ada mendung sekecil pun di langit, tanpa warna-warni lain, langit tampak membiru.

Pak Karto dan Pak Miskun adalah dua orang kuli bangunan yang sedang merampungkan pengerjaan perbaikan rumah di Perum Milenia, Mangli, Kecamatan Kaliwates, Jember.

Rumah yang terletak di jalan Jumat itu sengaja diperbaiki sama yang punya, menjelang lebaran tiba.

Kedua sohib yang sudah bekerja bersama selama 5 tahun itu, tidak menampakkan tanda-tanda kelelahan. Idul Fitri yang segera menghampiri mereka, benar-benar memompa semangat mereka untuk cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan.

Jelas saja. Semakin cepat mereka selesai, semakin cepat pula lembaran-lembaran rupiah mereka kantongi.

Jika sudah begitu, impian anak-anak di rumah untuk memakai baju baru saat lebaran, segera terwujud.

“Sesekali terlintas di pikiran saya. Anak-anak memakai busana baru, saat lebaran,” tutur Pak Karto saat melepas lelah.

Sementara itu, Pak Miskun sudah tidak sabar lagi membelikan baju bergambar Power Ranger untuk anaknya. “Sejak awal Ramadhan kemarin, Didik, anak saya, merengek untuk segera dibelikan baju Power Ranger seperti teman-temannya,” kenang bapak dua anak ini.

Perseiapan mereka berdua menyambut Lebaran tahun ini, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. “Sekarang mas, bisa membelikan baju baru untuk anak saja sudah enak.” harap Pak Miskun.

Dari situ jelas muncul sebuah pertanyaan besar. Apakah ketika Lebaran nanti, meja-meja di rumah Pak Karto dan Pak Miskun ini kosong melompong? Berbeda dengan rumah kebanyakan orang, yang dipenuhi bermacam-macam jenis kue, dari ukuran yang terkecil hingga yang terbesar.

Mulai dari jajanan yang manis sampai gurih, jelas sudah disiapkan kebanyakan orang menjelang Idul Fitri tiba. Tapi ada sebagian dari kita, yang masih kebingungan, dari mana dapat uang untuk meramaikan meja di rumahnya nanti.(ilmi)

Tetap Bermusik Sampai Usia Puluhan



Jam dinding masih belum genap menunjukkan pukul 12 malam. Ketika irama musik Dangdut mulai didendangkan kelompok Patrol “Musik Karomah.”

Sayup-sayup lantunan Ayat Suci Al-Qur’an masih terdengar dari segala penjuru desa. Udara dingin baru saja menampakkan kekuatannya, dibarengi dengan embun malam yang tidak terlalu tebal, menyelimuti kelurahan Mangli.

Segera keheningan malam pecah. Sekelompok orang yang menamakan diri “Musik Karomah” bermain musik patrol di tengah malam.

Setiap Bulan Puasa tiba, mereka seakan tidak pernah lelah, membawakan lagu-lagu dangdut yang sedang popular saat ini. Mulai dari Kucing Garong sampai SMS, mereka bawakan dengan balutan irama kentongan yang khas.

“Musik Karomah ini usianya sudah puluhan tahun.” Tutur istri dari sang maestro kentongan.

“Suami saya sudah memainkan kentongan ini sejak anak saya masih gadis. Saat ini anak saya sudah berkeluarga”. Tambahnya.

Memanfaatkan gerobak yang mereka rakit dari besi. Gerombolan pemecah keheningan malam ini mulai berkelana menghibur orang-orang, yang pada malam itu sengaja tidak tidur.

Berberapa kentongan dengan berbagai ukuran dan jenis, mereka tata sedemikian rupa. Sehingga menimbulkan bunyi yang sangat beraturan. Ditambah dengan tiupan seruling bambu, membuat bingung orang yang mendengarnya dari dalam rumah.

Suara ini dari kentongan ataukah dari pengeras suara yang biasanya dibawa orang-orang menggunakan becak?

Benar-benar tipis perbedaan diantara keduanya. Suara Bass sampai Treble benar-benar terdengar dengan sempurna.

Setiap kali mereka menemukan tempat yang sekiranya banyak orang nongkrong. Personel dari Musik Karomah, yang terdiri dari 6 orang ini segera membentuk formasi.

Mereka melingkar di segala sisi gerobak. Tek, tek, tek. Ketukan tiga kali, kerap mereka jadikan aba-aba sebelum suguhan patrol dimulai.

Sebatang pukulan yang dibalut guntingan ban dalam bekas, menimbulkan suara yang menggema. Sedangkan pukulan yang hanya terbuat dari bambu kecil, memunculkan suara yang menghentak. Belum lagi tiupan seruling yang indah. Membuat mereka terlihat seperti orkestra profesional, seperti orkes pimpinan Erwin Gutawa.

Penabuh Musik Karomah ini, tidak mendapat imbalan apa-apa dari usahanya menghibur warga. Hampir sampai waktu sahur tiba, mereka mengelilingi kampung.

Satu tekad bulat di hati merka, “Kami ingin menghibur orang. Karena membuat orang terhibur adalah ibadah” ujar Hadi, si pemukul Kentongan.

Akhirnya, senyuman dan gelak tawa pun tetap ada di raut wajah mereka. Meskipun sudah lama mereka bergelut dengan suasana malam. Sekali menghibur, menghibur terus. Prinsip ini tertancap kuat di hati personel “Musik Hikmah”.(ilmi)

Merajut Silaturahmi


Sore itu benar-benar berbeda dari sore-sore sebelumnya. Terhitung 35 orang, dengan rincian, 20 perempuan dan 15 laki-laki, semuanya paruh baya. Memenuhi Auditorium STAIN Jember.

Kerudung warna-warni dengan motif bunga-bungaan yang sudah mulai kelihatan kumal, sewek dengan corak batik serta songkok-songkok yang mulai memudar warna hitamnya. Menunjukkan jika yang menghadiri undangan BEM STAIN itu dari golongan kurang mampu.

“Kami sangat mengharapkan adanya ikatan diantara kita. Memanfaatkan mo-men puasa ini, kita tidak bisa mening-galkan rasa sosial kita,” tutur Asnawan, selaku Presma (Presiden Mahasiswa, red) menyampaikan harapannya di depan selu-ruh undangan.

Sekat yang selama ini membatasi antara kampus dengan masyarakat, sore itu hilang. Tepuk riuh sesekali terdengar, baik itu dari tangan mahasiswa, dosen sampai penduduk yang hadir.

Sepucuk surat dengan sebuah kupon berwarna hijau, terlihat dipegang masing-masing undangan. Mereka harap-harap cemas dengan kupon itu. Meskipun tidak ada ungkapan yang jelas, tetap saja terlihat ada sebuah harapan, jika mereka akan memperoleh sesuatu.

Ya, minimal beberapa kilo Beras atau juga mungkin sarung. Entah, mereka itu benar-benar menyimak mauidoh hasanah dari Habib Muhdor atau tidak. Soalnya, ada dua tiga orang yang asik ngerumpi di belakang. Tetapi uniknya, ketika undangan yang ada di depan serentak tepuk tangan, mereka juga ikut tepuk tangan dengan serentak pula.

Suasana bertambah meriah ketika budug maghrib mulai terdengar. Mengikuti panggilan dari panitia, ibu-ibu dan bapak-bapak lengkap dengan kupon di tangannya, maju satu per satu.

Sebuah bungkusan berwarna hitam mereka terima. Pancaran wajah sumringah terlihat dari jauh maupun dekat. Seakan ingin cepat kembali ke rumah, mereka tidak ada waktu untuk sekedar mengetahui apa yang ada di dalam bukungkusan itu.

Bisa jadi, ini adalah limpahan rezeki yang Allah janjikan sering turun di Bulan Ramadhan.(ilmi)

Merajut Benang Kusut Pendidikan

“Seorang guru harus berhati bersih, berbuat dan bersikap yang terpuji” Imam Al-Ghazali

Pemerintah saat ini seakan disuguhi buah Simalakama. Jika dimakan ayah mati, sebaliknya ibu yang mati kalau tidak dimakan. Kebijakan sertifikasi guru yang diterpkan baru-baru ini, membuat guru-guru berlarian kesana-kemari untuk mencari berkas guna melengkapi persyaratan sertifikasi.

Dari satu sisi, kebijakan sertifikasi itu bisa menjadi acuan profesinalitas seorang guru. Namun di sisi lain, sertifikasi bisa menggaanggu jalannya proses pembelajaran serta rawan terjadi praktek manipulasi. Akhirnya, para guru menomorduakan mengajar, sertifikasi menjadi prioritas yang utama.

Kebijakan sertifikasi diambil pemerintah, untuk menjaga profesionalisme guru yang akhir-akhir ini mulai dipertanyakan eksistensinya oleh berbagai pihak. Fenomena lulusan pendidikan yang secara moral cenderung merosot dan kualitas intelektual akademik yang kurang siap memasuki dunia kerja, membuat profesinalisme seorang guru kian terjerembab di kubangan keprihatinan.

Berbicara masalah profesi, terdapat tiga petunjuk mengenainya. Pertama, setiap profesi dikembangkan untuk memberikan palayanan tertentu kepada masyarakat. Kedua, profesi bukanlah sekedar mata pencaharian atau bidang pekerjaan, tetapi harus benar-benar melakukan pengabdian. Ketiga, setiap profesi mempunyai kewajiban untuk menyempurnakan prosedur kerja yang mendasari pengabdiannya secara terus-menerus. Secara teknis, profesi tidak boleh berhenti, tidak boleh mandeg.

Jika guru profesional, muncul secercah harapan akan peningkatan mutu pendidikan. Pasalnya, dunia pendidikan merupakan proses interaksi antara guru (pendidik) dengan peserta didik (murid), untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. (Nata, 2003:135)

Sebenaranya tanpa ada setifikasi pun, guru bisa mendapatkan jiwa peofesionalitasnya. Asalkan terus berpegang pada akhlak dan kode etik yang sudah ada. Kode etik yang merupakan ketentuan atau aturan yang berkenan dengan tata susila. Sementara itu, sebagai perwujudan ekspresi jiwa yang tampak dalam perbuatan, guru semestinya mencerminkan akhlak yang mulia di kelas maupun di luar kelas.

M. Jawad Ridla dalam bukunya al-Fikr al-Tarbawiyyu al-Islamiyyu Muqodimat fi ushulih al-Ijtima’iyyati wal al-aqlaniyyati, menjelaskan berbagai prinsip kode etik pendidik, yaitu:

Pertama, keharusan ilmu dibarengi dengan pengamalannya. Seorang guru (muallim) wajib mengamalkan ilmu yang dimilikinya.

Kedua, berikap kasih sayang terhadap siswa, dan memperlakukan mereka seperti putra-putrinya sendiri.

Ketiga, menghindarkan diri dari ketamakan. Seorang guru seyogyanya menghindarkan diri dari ketamakan dan komersialisasi ilmu.

Keempat, bersikap toleran dan pemaaf serta wajib bersikap lapang dada terhadap murid-muridnya.

Kelima, menghargai kebenaran. Para guru adalah penyampai kebenaran, mereka dituntut menghargai ilmu dan komitmen menjaganya.

Keenam, keadilan dan keinsafan. Karenanya seorang guru harus berempati dan memiliki kesadaran pada saat mengadakan penelitian, melakukan pembicaar dan menyampaikan ilmu.

Ketujuh, rendah hati. Seorang guru hendaknya meninggalkan sikap keras kepala dan berlagak serba tahu.

Ramai membicarakan sertifikasi, kebutuhan peserta didik terlupakan. Peserta didik tidak begitu menuntut banyak. Mereka hanya membutuhkan adanya pemimpin berpengalaman yang bisa membantu ketika mereka menemukan lingkungan yang keras. Kebutuhan selanjutnya adalah mengharapkan bimbingan dalam mengarahkan di jalan menuju kemandirian yang bertanggung jawab.

Kebutuhan adanya pemimpin yang berpengalaman, menuntut kearifan yang didasarkan pada pengalaman dalam segala macam bentuk penjelajahan. Selanjutnya, kebutuhan bimbingan untuk mengarahkan ke jalan kemandirian, menuntut pengetahuan akan kegiatan belajar dan sumber-sumber daya dalam pendidikan.

Hemat saya, seorang guru harus mengembalikan peranannya sebagai teladan, pencipta peluang untuk berprakarsa dan memberikan dorongan. Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.

Memilih profesi sebagai guru, berarti telah mengetahui tanggung jawab yang wajib diemban. Sejalan dengan itu, kualitas diri menjadi taruhannya, berhasil atau tidak ada ditangan masing-masing.

Senin, 22 Oktober 2007

Selamat Jalan Temanku



Tiga tahun terakhir aku sudah tidak ingat lagi nama panjang temanku yang satu ini. Beberapa waktu yang lalu, aku beru teringat kembali, jika nama panjang temanku itu adalah Ike Zulaidah.
Ya, aku baru teringat sesaat setelah aku membaca sebuah nama yang terpahat rapi di sebuah batu nisan.
Aku merasa bersalah, tidak sepantasnya aku melupakan nama lengkap temanku yang sejak TK belajar bersamaku. memang , setelah lulus SMP, kami berpisah. Aku melanjutkan ke SMA, ia ke SMEA. Namun sekolah kami masih dalam satu kecamatan, yaitu Kecamatan Kencong.
Tetapi tetap saja, masa-masa kami menuntut ilmu bareng lebih lama ketimbang masa-masa kami berpisah. Empat tahun lamnya berpisah, tentu tidak dapat menghapus kenangan manis belajar bersama selama 11 tahun.
Senda-gurau, gelak-tawa khas anak-anak kerap kami lakukan, membuat aku, ia dan teman-temanku yang lain memiliki rasa kekluargaan yang erat sekali. Ditambah lagi dengan jumlah murid di sekolahanku yang tidak terlalu banyak, membuat rasa kekluargaan itu berjalan terus hingga kini.
Semua kenangan manis yang terukir di kepalaku saat ini menjadi tidak berarti apa-apa. Kenangan itu kini telah terkubur bersama jasad temanku yang telah terbujur kaku, mendahuluiku menghadap sang Khalik.
Kecelakaan tragis yang terjadi tepat satu minggu sebelum lebaran kemarin, telah merenggut nyawanya. Malam Minggu yang lazimnya menjadi malanya anak muda, menjadi malam pembawa maut.
Aku tidak habis pikir, sungguh mulia sekali niatannya keluar rumah waktu itu. Pada malam itu, ia pamit kepada kedua orang tuanya sambil membawa "jirigen" untuk membeli Bensin di SPBU Wonorejo, yang telah menjadi langganannya.
Tidak ada firasat aneh yang dirasakan bapak dan ibunya dirumah malam itu. "Yang saya ingat, malam itu ia memakai busana yang serba hitam", kenang sang ibu yang mulai tegar meskipun ia telah ditinggal anak semata wayangnya.
Ike Zulaidah. Kini ia telah pergi. Ia telah meniggalkan kami semua untuk selam-lamanya. Hanya sebuah papan kayu yang dirangkai menjadi sebuah rak untuk berjualan bensin, yang kamu tinggalkan bagi kami, temanmu. Itu pun belum genap dua bulan kamu dirikan. Namun, itu cukup untuk mengingatkan kami atas segala jasa-jasamu yang belum sempat kami balas.
Damailah dialammu, sahabat. Kami semua selalu berdo'a, semoga Allah mengampuni dosa-dosamu. serta kami juga berdo'a, semoga Allah mengampuni dosa kami padamu.
Selamat Jalan sahabat, namamu telah terpatri di hati kami.

Salut Buat Adikku

Hampir dapat aku pastikan, tidak ada setetes air mata pun yang keluar dari mata adikku waktu ia di Khittan kemarin.

Awalnya aku sempat ragu, tubuhnya yang kurus pasti akan sulit menhindari sakitya di Khittan.
Namun, keraguanku tadi hanya sebatas rasa sayang seorang kakak kepada adiknya. maklum saja, dulu aku juga pernah merasakan sakit yang luar biasa waktu disunat.
tanpa ada satu orang pun di dalam ruangan Khittan, adikku menjalani masa-masa yang paling mendebarkan dalam hidupnya sendirian.
Lain halnya dengan diriku dulu. Seingatku, butuh 2 orang dalam proses sunatanku. Satu orang menutup kedua mataku, dan satunya lagi memanggku tubuh beratku. andai saja adikku dulu melihat kakaknya waktu dikhittan, aku pantas malu dan adikku berhak berbangga diri.
Meskipun aku melihat dadanya yang berdegub kencang, adikku sama sekali tidak memjamkan matanya. Dengan jelas ia melihat peralatan dokter yang banyaknya satu ember.
Aku sempat kaget, kaget sekali ketika tubuh kecil adikku kejang. Aku sempat ikut merasakan kesakiatan yang ia derita. kesakitan yang luar biasa, resa perih yang diakibatkan kejatuhan pemanas yang memotong kemaluannya. ya, waktu itu aku lihat alat itu jatuh tepat di bawah pusar adikku.
Tetapi tetap saja, ia tidak menangis sedikit pun. sampai saat itu, aku tidak bisa lagi berkata-kata apa-apa. Tidak ada sebuah kata yang bisa aku berikan kepada adikku untuk menghargai keberaniannya. Aku hanya bisa mengatakan salut padanya. Kakak salut padamu, tetap sehat dan cepat sembuh ya?
Buat pembaca, aku mohon keikhlasannya mendoakan adikku yang sedang menjalani masa penyembuhan. Terima kasih.

Pembaca Kami